Puritanisme dalam Pesantren Virtual ( AICIS 2019 )

 

Selama ini, pesantren yang awalnya didefinisikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu agama Islam, yang lokasinya dapat kita ketahui dan dapat kita jangkau, terdapat kiai atau ustad, dan tentunya juga terdapat santri yang belajar di pesantren, kini sedikit bergeser seiring perubahan pesantren secara global. Kini terdapat Pesantren Virtual, yang mengangkat tema puritanisme dan keluar dari karakter asasi pesantren.

“Saya kira, pesantren virtual itu karena merespon perkembangan, tapi ketika berhasil merespon perkembangan global, sehingga karakter yang dimilik pesantren menjadi hilang. Dan pengangkatan tema-tema puritanisme justru akan mengendorkan nilai-nilai pesantren yang selama ini ada,” ujar Dr. Mukhibat, M.Ag ketika memaparkan hasil penelitiannya yang berjudul Strengthenging the Vision of Virtual Pesantren in Continuing Locality, Nationality, and Globality (Mempertegas Visi Pesantren Virtual dalam Merajut Lokalitas, Nasoinalitas dan Globalitas) dalam paralel session di acara AICIS 2019 di Jakarta, Kamis lalu (03/10).

Dr. Mukhibat, M.Ag menganggap puritanisme dalam pesantren virtual ini sebagai permasalahan yang besar. Permasalahan utamanya bukan dari sumber ilmunya, karena ilmu bisa didapat dari mana saja. Persoalan utamanya yaitu terdapat pada sikap atau perilaku beberapa santri virtual, karena tidak mendapat bimbingan langsung dari kiai atau ustad, sehingga mereka menganggap apa yang dipahaminya benar dan cenderung memyalahkan kelompok-kelompok lain.

Kemudian Dr. Mukhibat, M.Ag menegaskan bahwa karakter asasi pesantren yang tasamuh, tawazun dan tawasuth harusnya menjadi nilai dasar pengembangan pesantren. Pesantren virtual itu sah dan diperbolehkan karena memang perkembangannya seperti itu. Posisi inilah yang menyebabkan posisi pesantren menjadi ambigu, antara mempertahankan tradisi dengan mengikuti perkembangan zaman. Kalau pesantren lepas kontrol dan mengikuti perkembangan zaman, yang terjadi adalah pesantren-pesantren virtual.

“Pesantren konvensional yang dimana kita belajar agama dan belajar cara hidup beragama, tidak bisa digantikan dengan pesantren virtual. Maka nalai-nilai lokalitas, globalitas dan nasionalitas harus menjadi ideologi bagi pesantren. Karena kalau tidak, akan muncul pesantren-pesantren virtual dan mengajarkan berbagai macam ilmu yang tidak ada kontrol” tambah Dr. Mukhibat, M.Ag dalam akhir presentasi tentang hasil penelitiannya yang dipandu oleh Nurul Azizah. Selain menghadirkan Dr. Mukibat, M.Ag, juga terdapat pemateri dari kampus lain, seperti Suliswiyadi (Universitas Muhammadiyah Magelang), Muhammad Armoyu (Universitas Ibrahimy, Situbondo), dan Harjoni Desky (IAIN Lhokseumawe, Aceh).

(Humas IAIN Ponorogo)

 

Visit us at:
Website : www.iainponorogo.ac.id
Facebook : IAINPonorogo
Instagram : @humas_iain_ponorogo
Twitter : @Ponorogo_IAIN

Berita Lainnya