Catatan Kaki atas Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Prof. Dr. Haedar Nashir . Oleh : Aksin Wijaya

Di saat membaca judulnya “moderasi Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologi”, saya berharap menemukan pemikiran baru tentang “moderasi Indonesia dan keindonesiaan”, sebuah istilah baru yang berbeda dengan istilah “moderasi Islam” yang selama ini dipromosikan mantan menteri agama Lukman Hakim Saifuddin. Lebih-lebih pemikiran baru itu dibaca dengan pendekatan sosiologi interpretatif yang sedikit berbeda dengan moderasi Islam yang didekati dengan pemikiran Islam, kendati keduanya sama-sama didekati dengan multiperspektif. Namun setelah membaca isinya secara global, saya memutuskan untuk memberi tiga catatan apresiatif-kritis atas pemikiran Haedar Nashir, lantaran apa yang saya harapkan tidak ditemukan di dalam naskah pengukuhan guru besar Ketua Umum PP Muhammadiyah yang saya hormati dan kagumi ini.

Pertama, ketika memulai pengantarnya, Haedar memulai paragraf pertama dari kalimat yang kurang tegas dan agak ragu untuk menegaskan adanya kondisi darurat radial, radikalisme dan terorisme karena beliau menggunakan istilah “seakan” (h. 1) di dalamnya untuk menunjukkan keberadaan kondisi darurat itu. Jadi, kondisi darurat itu hanya sebatas seakan, bukan senyatanya. Bahkan, menganggapnya sebagai “pelekatan yang ambigu” jika radikalisme hanya dikaitkan dengan agama (h.6).

Asumsi-asumsi ini terkonfirmasi karena sajian pada halaman-halaman berikutnya dalam menjelaskan masalah radikalisme di Indonesia (ini adalah masalah pertama yang dibahas dalam naskahnya ini (h.8), beliau menggiring opini untuk mempersempit istilah “radikal” agama yang berbahaya pada radikal-ekstrimis, yang selain tertutup juga terbiasa melakukan kekerasan fisik. Di sisi lain memperluas (bahkan memberikan titik tekan dalam analisisnya) cakupan makna radikal, radikalisme dan ekstrimisme tidak hanya pada agama, khususnya agama Islam, tetapi juga pada paham kebangsaan yang menurutnya kini mulai mengarah pada liberal-sekular (h. 27). Bahkan, sajiannya atas radikal-ekstrimis agama selalu menjadi sampingan di dalam analisisnya, dan lebih banyak menyoroti radikal dan ektrimis non agama. Organisa-organisasi keagamaan radikal-ekstrimis yang berkembang di Indonesia sama sekali tidak disebut oleh Haedar, dan hanya menyebut organisasi induknya di Timur Tengah, padahal beliau membahasnya dalam konteks Indonesia. Mungkin karena keberadaan mereka di Indonesia hanya sebatas “seakan”.

Kedua, sajian di dalam naskah ini yang awalnya dinyatakan menggunakan sosiologi interpretatif dan multif perspektif untuk menafsir secara sosial atas kenyataan (h. 6-8) atau kondisi radikal, radikalisme dan ekstrimisme di Indonesia terlihat lebih banyak menampilkan definisi-definisi sosiologis tentang ketiga istilah itu daripada tafsir sosiologisnya atas realitas gerakan radikal di lapangan, lebih-lebih definisi-definisi itu diambil dari para sarjana Barat. Tentu saja, definisi-definisi itu penting untuk menjernihkan pemahaman atas istilah radikal, radikalisme dan ekstrimisme, tetapi kenyataan di lapangan tidak selamanya sejalan dengan definisi-definisi, lebih-lebih lapangan yang dituju oleh Haedar adalah Indonesia. Untuk menyoroti kondisi gerakan yang diindikasikana radikal di Indonesia, sejatinya juga menggunakan definisi-definisi yang berasal dari para sarjana dan pemerintah Indonesia, karena pada hakikatnya definisi itu merupakan abstraksi dari realitas. Hal ini tidak dilakukan, karena Haedar tidak hanya menempatkan kondisi di pangan bersifat “seakan”, tetapi juga lebih fokus pada upaya untuk menjernihkan pemahaman dan memahaminya secara obyektif.

Ketiga, masalah kedua yang dibahas pak Haedar adalah hendak “mengembangkan moderasi keindonesiaan sebagai jalan baru menuju Indonesia ke depan” (h.8). Sajian Haedar tentang masalah ini juga banyak menampilkan definisi tentang Indonesia yang diambil dari para sarjana Barat. Sementara tafsir sosialnya atas kondisi real Indonesia dan keindonesiaan sangat sedikit, sehingga tidak ditemukan adanya gagasan baru yang bisa digunakan sebagai jalan baru menuju Indonesia masa depan. Apa yang beliau tampilkan tentang moderasi Indonesia dan keindonesiaan adalah apa yang bung Karno dan para pendiri bangsa nyatakan, dan kemudian dirumuskan di dalam empat pila kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga pandangannya tentang kehidupan berIslam di Indonesia, yang menurutnya Islam menjelma dengan watak “indigeneous atau mempribumi”, merupakan gagasan lama yang sudah disuarakan oleh Gus Dur, buya Syafi’i Ma’arif, dan kini oleh pak Said Aqiel Siraj yang dikemas dengan bahasa Islam Nusantara. Penyebutan Islam pribumi sebagai Islam moderat oleh Haedar bukanlah gagasan baru, karena moderasi Islam yang sebenarnya sudah melekat pada urat nadi penganut mayoritas Islam tradisonal di Indonesia ini, dipromosikan secara formal oleh mantan menteri agama, pak Lukman Hakim Saifuddin, dan hal itu diapresiasi oleh Haedar.

Dari tiga catatan ringan ini, saya tidak menemukan tafsir sosiologisnya atas kenyataan gerakan radikal, radikalisme dan ekstrimisme di Indonesia, baik radikal agama maupun non agama. Begitu juga, tidak ditemukan “jalan baru” yang bisa digunakan menuju Indonesia masa depan. Yang saya temukan dari pemikiran Haedar di dalam naskah guru besarnya ini adalah: pertama, “apresiasi-kritisnya” atas kebijakan pemerintah dan umat Islam Indonesia dalam menghadapi gerakan radikal, radikalisme dan ekstrimisme baik agama maupun non-agama; kedua, pengakuannya akan Islam pribumi (Islam Nusantara), menjadikannya sebagai bentuk moderasi Islam di Indonesia, dan sebagai basis kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Gagasan Haedar ini menjadi “ancaman nyata” bagi kelompok radikal, radikalisme, ekstrimisme agama dan non-agama di Indonesia, karena dengan demikian para ulama NU “tidak sendirian lagi” dalam menghadapi mereka.

Selamat atas pengkuhan Guru Besar Bapak Haedar Nashir, semoga sehat selalu… Amien! (Penulis adalah Dewan Ahli PC ISNU Ponorogo dan Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo)

 

alih dari : https://nyabtu.com/catatan-kaki-atas-moderasi-indonesia-dan-keindonesiaan-prof-dr-haedar-nashir/

Berita Lainnya