Menyingkap Makna di Balik Seni dan olah Raga

Oleh: Aksin Wijaya*

Pada pembukaan kegiatan Pekan Seni dan Olahraga Nasional (PESONA) I, Selasa tgl. 9 Agustus di kampus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menteri Agama Ripublik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pemikiran menarik yang layak didiskusikan secara akademis. Setelah mengawali pengantarnya dengan guyonan ala kyai NU, ketua umum Ansor NU ini mengatakan, ada hubungan positif antara seni, olahraga, dan agama (Tuhan).

Beliau yang dikenal dengan sebutan gus menteri ini menyampaikan, para olahragawan (atlet), apapun olahraganya, misalnya sepakbola, selalu mengekspresikan rasa syukurnya kepada Allah yang Maha Kuasa, dengan beragam ekspresi sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.

Jika dia orang Nasrani, dia menunjukkan ekspresi doanya dengan menunjukkan telunjuk tangannya ke kepala, dada kiri dan dada kanan; dan jika dia seorang muslim, dia menunjukkan ekspresi syukurnya dengan melakukan syujud ke tanah lapangan tempat dia bermain atau menengadahkan kedua tangannya ke atas. Rasya syukur itu mereka lakukan, baik ketika akan bermain, ketika menang maupun ketika kalah.

Dimana sisi menariknya secara akademis?

Seni dan olahraga adalah sesuatu yang sekuler dan profan. Bukan hanya karena buatan dan kreasi manusia, tetapi juga karena tujuan dari seni dan olahraga itu bersifat duniawi, yakni mengalahkan lawannya dan meraih kemenangan.

Jika kegiatan itu adalah persahabatan, tujuannya adalah untuk menunjukkan betapa dia dan timnya adalah pemain yang hebat dan bangga dengan kehebatannya.

Jika kegiatan itu adalah kompetisi formal seperti PESONA yang diadakan setiap dua tahunan oleh Wakil Rektor bidang kemahasiswaan PTKIN ini, tujuan utamanya adalah mendapatkan medali, baik emas, perak maupun perunggu.

Tidak hanya berhenti di situ. Tujuan lanjutannya adalah, jika para atlet memenanginya, maka yang dicapai tidak hanya kebanggaan bagi diri dan timnya, tetapi juga bagi pimpinannya. Lebih tinggi lagi, Lembaga yang dibelanya akan mendapat tambahan poin untuk menaikan nilai akreditasi perguruan tingginya. Karena itu, tidak jarang, mereka diiming-imingi reward jika memenangi kompetisi.

Di sisi lain, ekspresi doa adalah ritual agama, yang merupakan perintah Tuhan. Sebagian orang menganggap, agama hanya berhubungan dengan kehidupan ukhrawi. Urusan ukhrawi berkaitan dengan bagaimana manusia menjalankan perintah Tuhan yang dikenal dengan sebutan ibadah, baik mahdah seperti shalat, maupun ghaira mahdah seperti berbuat baik kepada sesama. Agama merupakan bagian dari kegiatan manusia mencari pahala dari Tuhan agar kelak memasuki surga yang dijanjikan-Nya. Karena itu, agama yang dalam hal ini berdo’a bersifat sacral.

Dari dua peristiwa yang “terlihat” berbeda secara diametrial ini, muncul pertanyaan sederhana. Apa makna di balik tindakan para atlet melibatkan do’a dalam seni dan olahraga? Ada banyak makna yang bisa ditampilkan dari fenomena ini, sebagian di antaranya adalah:

Pertama, fenomena itu menandakan, betapa si atlet menganggap, Tuhan perlu dilibatkan di dalam upayanya meraih impiannya yang bersifat duniawi dan profan, yakni untuk memenangi kompetisi.

Pelibatan do’a itu dilakukan, bukan karena tidak percaya diri, melainkan karena masih ada keyakinan di dalam dirinya bahwa apapun yang terjadi di dunia ini, tidak lepas kekuasaan dari Tuhan sebagai pencipta. Atas dasar itu, mereka meyakini, mimpinya bisa diraih tidak hanya melalui usaha dirinya sebagai manusia, tetapi juga dengan do’a agar Tuhan Yang Maha Kuasa mengabulkan mimpinya.

Kedua, fenomena ini juga menandakan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat (manusia) beragama yang berfikir religius. Penting dicatat, tidak setiap masyarakat beragama berfikir religius. Ada masyarakat beragama yang berfikir non-religius, dan ada masyarakat non-beragama yang berfikir religius. Saya mengambil satu contoh sederhana untuk menunjukkan fenomena berfikir masyarakat beragama yang berfikir non-religius.

Ada banyak orang beragama di Indonesia yang melakukan korupsi. Tindakan koruptif Itu menunjukkan, betapa dia tidak menghadirkan Tuhan di dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, termasuk dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Tidak ada pelibatan agama (Tuhan) di dalamnya.

Apakah mereka melupakan Tuhan? Tentu saja tidak. Mereka melibatkan agama dan Tuhan hanya ketika mengalami masalah. Misalnya, ketika ditetapkan menjadi tersangka korupsi, mereka menggunakan baju “islami” dan mengadakan acara pengajian al-Qur’an dengan tujuan agar hukum tidak menjeratnya.

Ketiga, fenomena ini juga menandakan, agama dipahami bukan sesuatu yang abstrak yang hanya berhubungan dengan sesuatu yang bersifat sipiritual-ilahi. Agama yang bersifat spiritual-ilahi itu menjelma ke dalam realitas-basyari.

Mereka meyakini, agama bisa memberi efek positif atas upayanya dalam meraih impiannya di duaniawi yang profan ini, sehingga keberhasilannya meraih juara tidak semata-mata usaha dirinya, tetapi juga atas motivasi agama dan Tuhan, bahwa setiap mimpi pasti akan diraih manusia melalui usaha.

Kalau memenangi pertandingan, itu adalah berkat dorongan dari agama dan Tuhan. Jika kalah, mereka menganggap bahwa kekalahannya disebabkan oleh karena keyakinannya akan dorongan dari agama dan tuhan masih lemah. Karena itu, di saat kalahpun, mereka masih bersyukur bahwa mereka bisa ikut kompetisi yang bersifat nasional ini, dan kekalahannya tidak membuatnya putus asa.

Ekspresi sekular-religius di dalam seni dan olah raga itu bisa dilihat pada para atlet kontingen IAIN Ponorogo, baik mereka yang kalah maupun yang memenanginya. Ketika ditanyakan kepada tim cabang olah raga yang kalah, mereka masih merasa bersyukur karena mereka bisa menyadari dan mengevaluasi kekurangannya, baik di dalam latihan maupun keyakinannya.

Dan bagi atlet panjat tebing putri, Galuh Rahmadhani yang meraih juara dua (II), kemenangan yang diraihnya itu dipahami sebagai berkah dari usaha dan doanya kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Kasih. Dia yakin akan kemampuannya, dan di saat yang sama, juga yakin bahwa Tuhan memberinya kekuatan untuk memenangi pertandingannya itu. Itu berarti, yang profan (seni dan olahraga) dan yang sakral (do’a) menyatu dalam diri olahragawan PTKIN, termasuk pada diri Galuh Rohmadhani.

Setelah beberapa pertandingan yang melelahkan dilalui oleh para atlet kontingen IAIN Ponorogo, yang berjumlah kurang lebih seratusan orang dengan 20 cabang seni dan olahraga yang diikutinya, tentu banyak hal perlu dievaluasi, selain tentu saja juga bisa diambil manfaatnya, yakni memberikan keyakinan kepada mereka bahwa apapun mimpinya, yakinlah Tuhan bersama mereka.

Selamat bertanding para kontingenku, kontingen IAIN Ponorogo. Sertakanlah do’a dalam perjuanganmu, sehingga seni dan olahraga tidak hanya urusan menang kalah, tetapi juga urusan ekspresi dan sikap yakni merajut spirit of harmony antarsesama, terutama sesama PTKIN (*Wakil Rektor III IAIN Ponorogo). [AR]

Hotel Ibis, Bandung, 10 Agustus 2022

source : nyabtu.com

Berita Lainnya