Catur: Seni Mengalahkan Lawan

Aksin Wijaya*

Ketika akan berangkat membawa misi suci almamater ke UIN Bandung, kepada para atlet kontingen IAIN Ponorogo, saya sampaikan bahwa Allah menciptakan manusia secara sama, termasuk manusia yang bernama mahasiswa. Tidak ada manusia yang satu dicipta lebih baik atas manusia lainnya.

Begitu juga, tidak ada mahasiswa di perguruan tinggi tertentu yang ditakdirkan lebih unggul atas mahasiswa di perguruan tinggi lain. Tidak ada keunggulan secara alami antara mahasiswa UIN atas mahasiswa IAIN dan STAIN, dan antara mahasiswa di perguruan tinggi Jawa atas luar Jawa, atau sebaliknya.

Keunggulan itu ditentukan oleh keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan tentu saja melalui proses yang baik pula. Keduanya harus berjalan bersama-sama. Seseorang tidak akan menjadi lebih unggul atas yang lain jika hanya mengandalkan keingin menjadi yang terbaik tanpa disertai proses yang baik.

Begitu juga tidak ada artinya proses yang baik jika tidak disertai dengan keinginan untuk menjadi yang terbaik.  Keduanya berhubungan dengan hasil. Bahkan tidak jarang proses lebih baik daripada hasil. Bahwa proses menentukan hasil tidak perlu lagi dibicarakan karena semua orang mengetahuinya. Bahwa proses lebih baik daripada hasil, karena ada hasil yang diperoleh dengan cara-cara tidak fair.

Syukurlah, di ajang Pesona ini, fairly benar-benar dijunjung tinggi, karena PTKIN mengadakan acara ini tidak sekedar mencari menang kalah, tetapi sebagai upaya menjalin silaturrahmi agar tercapai harmoni.

Para atlet kontingen IAIN Ponorogo telah berjuang penuh dalam meraih cita-cita suci almamaternya. Mereka mempunyai keinginan menjadi yang terbaik demi almamaternya, dan sudah melalui proses yang profesional, mulai dari perekrutan sampai latihan. Mereka juga sudah berjuang penuh di atas lapangan menghadapi lawan-lawan dari perguruan tinggi lain se Indonesia.

Memang, tidak selamanya keinginan menjadi yang terbaik dan proses yang baik menghasilkan kemenangan, tetapi tetap menghasilkan atlet yang baik. Mereka mungkin mempunyai kelebihan pada aspek tertentu, tetapi juga mungkin mempunyai kekurangan pada aspek lainnya. Begitu juga para lawan tandingnya. Kekalahan dan kemenangan ditentukan oleh penilaian atas dimensi tertentu yang mungkin saja pada dimensi itu, kita mempunyai kelemahan sementara lawan tandingnya mempunyai kelebihan.

Kekalahan dan kemenangan dalam sebuh pertandingan juga tidak hanya ditentukan oleh esensi dari seni dan olahraga itu sendiri, tetapi oleh bayak faktor, diantaranya adalah cuaca dan mental. Bisa saja dari sisi permainannya bagus, tetapi jika cuacanya tidak familiar baginya, dan juga mental juaranya lemah maka, kemungkinan dia akan kalah.

Begitu juga sebaliknya. Dia akan memenangi pertandingan jika permainan, cuaca dan mental juaranya familiar dan bagus. Hal seperti ini bisa dilihat dalam permainan sepakbola. Mancester City adalah tim sepak bola Liga Ingris yang spektakuler yang selalu menguasai permainan, siapapun lawan tandingnya. Ketika bermain melawan Real Madrid, yang juga tim papan atas liga Spanyol, dalam sebuah pertandingan Liga Champion, tetap saja Mancity tak berkutik dibuatnya. Kendati, permainan Madrid mengecewakan karena biasanya menumpuk pemain di belakang dan mengandalkan serangan balik.

Jika seorang penikmat sepakbola hanya fokus pada menang kalah, bisa dikatakan bahwa dia bukan seniman, olahragawan dan bukan penikmat seni, melainkan pebisnis seni yang biasanya dimiliki para pemilik modal. Bisa dikatakan, dia mengkapitalisasi seni dan olahhraga.

Penikmat seni sepakbola tidak akan merasa bangga meraih kemenangan atas lawannya dengan permainan yang biasa dan tidak indah. Bagi penikmat seni, indahnya permainan lebih nikmat daripada menang dengan permainan yang jelek. Tentusaja, akan lebih nikmat jika permainannya indah dan meraih kemenangan.

Kalau melihat beberapa pertandingan yang ditampilkan para atlet di PESONA I ini, kita akan melihat betapa mereka memainkan pernainan yang indah. Tidak ada peristiwa yang menampilkan seorang pemain atau pelatih yang mempersolkan keputusan dewan juri dalam memutuskan menang-kalah.

Semuanya menerima apapun yang diputuskan juri, termasuk pihak yang kalah. Di situlah seni. Para atlet lebih mementingkan seni daripada hasil, walaupun tidak berarti mengabaikan hasil. Hal itu bisa dilihat betapa para atlet, para official dan para Wakil Rektor III enjoy-enjoy saja begitu mendengar dan melihat tim kesayangannya kalah, walaupun mungkin kecewa di dalam hatinya. Begitu juga, mereka yang menang tidak merasa hebat sendiri. Mereka bermain untuk seni dan harmoni.

Kondisi yang saya gambarkan di atas setidaknya bisa dilihat pada para atlet kontingen IAIN Ponorogo. Walaupun hingga tulisan ini ditulis, IAIN Ponorogo baru meraih dua medali perak, yakni panjat tebing putri atasnama Galuh Rahmadhani, dan catur putra atas nama Arif Yulianto, semangat dan rasa senangnya menikmati pertandingan lebih kelihatan daripada rasa kekecewaannya. Begitu juga ketika memenagi dua cabang, walaupun menempati posisi juara dua. Para pelatih, official dan pimpinan tetap memberikan semangat, tidak saja kepada para pemenang, tetapi juga mereka yang belum meraih kemenangan.

Catur adalah salah satu cabang yang dipertandingkan di dalam PESONA I. Catur bukan hanya seni yang mengandalkan rasa, dan olahraga yang mengandalkan fisik, tetapi juga mengandalkan akal. Akal berbicara tentang cara berikir, termasuk berfikir tentang seni bermain catur.

Bisa dikatakan, catur adalah seni berfikir rasional dan seni yang rasional. Bahkan tidak jarang, catur dijadikan simbol keahlian dalam mengalahkan lawan, baik dalam politik maupun peperangan. Lawan politik dan perang bisa saja dikalahkan tanpa harus bersentuhan, melainkan melalui strategi dan strategi tentu saja disusun oleh akal.

Itulah kemenangan sejati yang diperlihatkan Nabi Muhammad, misalnya dengan membuat piagam perjanjian yang disebut Piagam Madinah. Dengan Piagam Madinah, Nabi Muhammad tidak hanya mampu menaklukkan konfigurasi politik masyarakat Madinah yang mayoritas beragama Yahudi dan Kristen dengan etnis mayoritas berasal dari Bani Israil, tetapi juga menjadikan mereka sebagai bagian dari kekuatan melawan kaum musyrik di Makkah.

Jadi, kemenangan Arif Yuliyanto bisa dikatakan sebagai kemenangan dia dalam berfikir tentang seni, yakni seni mengalahkan lawan tanpa bersentuhan (*Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAIN Ponorogo). [AR]

 

sumber: nyabtu.com

Berita Lainnya